Selama ini, beberapa kalangan berdebat tentang ketersediaan beras di Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), tentang kenaikan harga beras di berbagai daerah yang menjadi alasan melegalkan impor beras, tetapi mereka lupa satu hal: Indonesia masih di bawah tekanan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang mendesakkan liberalisasi perdagangan, termasuk di sektor pangan.
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebanyak 80 persen beras petani di serap para kartel, dan hanya 20 persen oleh Bulog. Penyebabnya, harga beli kartel jauh lebih tinggi dari Bulog yang dibatasi oleh harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.700/kg untuk Gabah Kering Panen (GKP). Jadi wajar jika cadangan beras di Bulog selalu tipis.
Dampaknya, kartel-kartel ini melakukan permainan harga, dengan menahan beras yang diserap dari petani. Inilah penyebab kelangkaan beras dan kenaikan harga baru-baru ini. Ini juga jadi alasan pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan RI, memaksakan impor karena cadangan beras di bulog menipis.
Lalu pertanyaan berikutnya, apa peran Satgas Pangan yang terdiri dari unsur Polri, Bulog, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam menstabilkan harga pangan?
Mewujudkan kedaulatan pangan adalah bagian dari apa yang di sampaikan oleh bung karno, bahwa soal pangan adalah soal hidup-matinya bangsa, bahwa kemerdekaan itu hanya jembatan emas untuk mencapai Indonesia yang adil makmur sentosa. Tentu saja, dalam meniti jembatan emas itu harus melalui beberapa sambungan.
Bung Karno menjelaskan seperti inilah sambungan jembatan emas yang kita lalui: revolusi Agustus 1945 -1950 itu periode revolusi fisik; 1950 – 1955 itu periode survive/bertahan, 1955- seterusnya itu periode invesment: investasi keterampilan manusia (human skill investment), investasi material (material investment), dan investasi mental (mental investment). Sayang, baru meniti beberapa sambungan saja, bangsa Indonesia turun dari jembatan dan berenang di sungai yang arusnya menghanyutkan.
Kita semakin jauh dari jembatan emas kemerdekaan, terbukti
dengan semakin jauhnya bangsa ini dari keadilan social. Dan semakin jauhnya
bangsa ini dari kedaulatan pangan, terbukti dengan kebijakan impor beras
mencapai 500 ribu ton yang mulai tiba pada akhir Januari dan Februari 2018 di
saat petani kita sedang panen raya padi.
Petani kita di berbagai daerah sedang panen padi, harapannya:
mendapat harga jual yang bisa menutupi biaya produksi, sehingga bisa membiayai
kebutuhan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tetapi semua itu
terganjal akibat impor beras. Sebagaimana hukum pasar: bila barang sejenis
melimpah, maka konsekwensinya harga turun.
BPS menyiarkan Nilai Tukar Petani [NTP] turun di Januari
2018: 102,92 atau 0,14 persen dari NTP Desember 2017. Ppenyebab NTP turun
adalah kenaikan harga kebutuhan dasar petani yang berimbas pada indeks harga
yang diterima petani cuma 0,92 persen. Sementara kenaikan harga mencapai 1,05
persen. Artinya, petani mengalami defisit, karena harga produksinya turun,
sementara harga barang yang dibutuhkan petani atau yang dibayarkan petani
mengalami kenaikan cukup tinggi.
Jangan heran bila semakin banyak saudara kita, yang notabene
dari keluarga petani, yang memilih menjadi Tenaga Kerja di luar negeri. Sebab,
penghidupan sebagai petani belum membaik. Ekonomi pertanian tidak membuat
kebutuhan hidup mereka terpenuhi.
Siaran pers BPS RI pada 5 Mai 2017 menyampaikan sektor-sektor
yang mengalami penurunan, yakni Konstruksi (0,64 persen) dan Perdagangan (0,25
persen). Tiga sektor yang persentasenya cenderung stagnan atau tidak berubah,
yaitu sektor Keuangan, Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas, dan Air.
Sedangkan selama Februari 2016—Februari 2017, ada beberapa
sektor-sektor yang mengalami peningkatan persentase penduduk yang bekerja,
yaitu sektor Jasa Kemasyarakatan (0,42 persen), Transportasi, Pergudangan dan
Komunikasi (0,27 persen), pertanian (0,12 persen), dan Industri (0,07 persen).
Menjadi aneh, di tengah peningkatan sektor pertanian yang
mencapai 0,12 persen, kita masih mendengar kebijakan yang justru membunuh
petani, seperti impor beras. Mimpi Jokowi-JK mewujudkan Trisakti akan percuma
jika gagal mewujudkan Kedaulatan Pangan.
Kenaikan
harga beras, yang kemudian berusaha diatasi dengan kebijakan impor beras,
menandakan kita masih sangat jauh dari cita-cita mewujudkan Kedaulatan Pangan.
Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) ; Akses di Web, www.berdikarionline.com
0 Komentar