Salah satu sudut halaman di korke Mudakaputu (foto istimewa)
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang diprakarsai oleh pemangku kepentingan di kampungku, dalam tema, "Menggali Nilai-Nilai Budaya Lokal," terungkap begitu banyak nilai budaya, adat-istiadat serta norma, dan pengalaman yang menjadi entitas kelompok masyarakat, dalam mengelola interaksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Tuhan.
Adat istiadat dan norma yang mengatur tentang perilaku sosial masyarakat, sejak kelahiran seorang bayi, sampai pada saat kematiannya. Bagaimana pengaturan tata cara pengelolaan alam untuk kebaikan bersama. Membuka ladang untuk bercocok tanam dan tata cara menabur benih di ladang, hingga panen dan penanganan pasca panen, semuanya dituturkan saat itu.
Dari deretan adat istiadat dan norma yang terungkap, agaknya tidak sedikit mulai ditinggalkan satu per satu. Satu di antaranya yang menarik dan kemudian menjadi fokus perbincangan yang cukup alot dalam forum diskusi itu, adalah tentang murung kenebe.
Murung kenebe itu sendiri secara harafiah berasal dari kata murung, yang berarti menunda, sedangkan kenebe, berarti jalur yang biasa dilewati. Sehingga murung kenebe, berarti menunda kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat adat, pada musim – musim tertentu.
Murung kenebe merupakan konsep pengaturan sebuah situasi di kampung untuk menciptakan suasana harmoni antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, serta antara manusia dengan Sang Penciptanya pada kurun waktu sejak masyarakat adat (lokal) turun ke ladang melakukan aktivitas menanam padi hingga tiba saatnya memetik hasil (panen), dengan menunda segala aktifitas yang biasa dilakukan pada musim sebelum tanam.
Apa saja aktifitas yang mesti ditunda pada masa – masa itu?
Orang tetua menuturkan dalam forum itu, bahwa dulu pada musim mulai tanam sampai musim panen tiba, mereka tidak dibolehkan menebang pohon, tidak dibolehkan membakar sampah, tidak dibolehkan masuk laut untuk bekarang (menangkap ikan dengan secara tradisional), tidak dibolehkan menciptakan kegaduhan – kegaduhan, tidak dibolehkan mengurus kawin – mawin bagi pasangan muda – mudi.
Mengapa demikian? Masyarakat adat sejak dahulu kala meyakini, bahwa dalam suasana seperti ini, akan terjadi keseimbangan interaksi yang harmonis antara manusia, antara manusia dengan alam yang sedang berproses menumbuhkan Tonu Wujo (Padi), serta akan terjadi keseimbangan interaksi yang harmonis antara manusia dengan Rera Wulan – Tana Ekan (Tuhan Pencipta Semesta Raya).
Keyakinan itu kemudian menjadi sebuah pranata lokalita, dengan batasan – batasan tertentu bagi masyarakatnya, untuk menciptakan keharmonisan hidup di kampung. Mereka sangat aktif menjaga dan mengutamakan keseimbangan, yang dituangkan dalam prinsip murung kenebe sebagai sumber bonum commune.
Prinsip ini mendasari semua tindakan para Leluhur yang kemudian dilisankan dari generasi ke generasi untuk senantiasa menjaga keterkaitan antara alam semesta dan kehidupan sosial masyarakat. Itu lah sebabnya, mengapa adat istiadat dan norma – norma yang ditinggalkan para Leluhur, perlu dijaga dan dilestarikan.
Hari ini sedang terjadi dinamika sosial budaya masyarakat adat yang digambarkan dengan karakter masyarakat yang mulai apatis menerapkan adat istiadat dan norma kehidupan sosial budaya dalam berinteraksi antarmanusia, antara manusia dengan alam, serta antara manusia dengan Sang Pencipta.
Lantas, apa yang terjadi pada generasi hari ini? Secara afektif, masyarakat adat masih memiliki respon positif terhadap pelestarian adat istiadat dan norma – norma yang mengatur perilaku kehidupan sosial.
Namun rupanya responsif masyarakat adat ini akan terbentur pada kebijakan pembangunan yang mengabaikan kearifan lokal sehingga kemudian menjadikan adat istiadat dan norma-norma yang mengatur perilaku kehidupan sosial, berangsur tenggelam di dalam derap modernisasi pembangunan, yang menitikberatkan pada upaya mendorong masyarakat dari hal – hal konvesional ke perilaku modern.
Benar bahwa kebutuhan ekonomi masyarakat modern pada musim murung kenebe dewasa ini, turut memaksa masyarakat adat untuk tidak menghiraukan adat istiadat dan norma-norma yang mengatur perilakunya. Misalnya, menebang kayu untuk dijual, menebang kayu untuk pembangunan rumah, dan lain sebagainya.
Belum lagi program pembangunan pemerintahan yang dilaksanakan pada musim – musim ini yang cukup mencemaskan.
Misalnya, pada tahun 2020 kemarin, pemerintah daerah dalam program selamatkan tanaman rakyat, lantas melaksanakan penjarangan tanaman jambu mete sehingga terjadi penebangan pohon dengan menggunakan alat chainsaw pada musim yang tidak diperbolehkan.
Dan masih ada lagi pekerjaan proyek – proyek pemerintah lainnya masuk kampung menggunakan alat berat, yang justeru mengabaikan adat istiadat dan norma yang mengatur kehidupan sosial masyarakat adat karena menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat adat pada musim yang tidak diperbolehkan itu.
Masyarakat adat tentunya tidak sedang menutup diri dengan pembangunan. Namun hendaknya, pembangunan yang berkelanjutan perlu menjamin keseimbangan antara kebutuhan manusia dan sumber daya alam sebagai pemasok kebutuhannya. Oleh karena itu, keharmonisan interaksi antara manusia dengan alam harus selalu diusahakan dalam berbagai aktifitas manusia. Alam harus dihormati dan dijaga keseimbangannya.
Dan
untuk menjawabi tuntutan ini, manusia harus menghormati dan menjaga
keseimbangan dalam interaksi antara manusia dengan alam yang hanya bisa dilakukan
melalui pranata lokalita untuk menghadapi tantangan terbesar bagi generasi saat
ini dalam menjaga dan melestarikan adat istiadat dan norma perilaku kehidupan
sosial masyarakat adat pada keedanan zaman ini.
Menurut hemat penulis, dari fenomena yang terjadi saat ini, mesti adanya sebuah lembaga adat yang berperan menjaga warisan Leluhur ini, karena ternyata kita, generasi dewasa ini, tidak lebih cerdas dari para Leluhur dalam menjaga keseimbangan interaksi yang harmonis antarmanusia, menjaga keseimbangan interaksi yang harmonis antara manusia dengan Alam Semesta, serta menjaga keseimbangan interaksi yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Sang Pencipta.***
0 Komentar