Kepala Suku Embulau, Arnoldus Jogo dengan Rumah Adat Wajo (foto orlyn)
MBAY 3TUNGKU – Kampung Adat Wajo merupakan
salah satu kampung adat yang telah dinominasikan menjadi Kampung Adat Berbasis Wisata sejak tahun 2012
oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Nagekeo. Kampung adat yang telah beberapa kali
meraih juara dalam event festival berskala provinsi maupun nasional ini terletak di Desa Wajo, Kecamatan Keo Tengah,
Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Terletak
di dataran tinggi dengan dikelilingi gunung, kampung adat ini tampaknya begitu
mempesona dengan alam pegunungannya yang segar alami. Di kampung adat ini
terdapat 6 suku yang menghuni seluruh wilayah adatnya yaitu Suku Embulau, Suku
Embumani, Suku Kotomena, Suku Kotoradhe, Suku Jemu Dedhe Wawo, dan Suku Jemu
Dede Wena.
Menurut
penuturan Kepala Suku Besar Suku Embulau, Arnoldus Jogo, di dalam Kampung Adat
Wajo terdapat Sa’o Pile (rumah adat), Peo, Nambe, Ia, Ana Deo, dan simbol
– simbol adat dan budaya serta sejarah lainnya yang dianggap sakral penuh
mistik.
Sa’o Pile dan Peo diletakkan
pada kedudukan yang lebih tinggi karena falsafah Masyarakat Adat Wajo yang udu mbeli kedi, ai ndeli mesi yang
berarti kepala bersandar di gunung dan kaki menopang di laut. Ini merupakan gambaran seekor ular
naga raksasa yang menjadi pelindung Kampung Adat Wajo dengan kepalanya berada
di gunung dengan kaki dan ekornya berada di laut sehingga satu kesatuan wilayah
adat Masyarakat Adat Wajo ulu ekonya
dari gunung hingga ke laut.
Di dalam Sa’o Pile tersimpan
berbagai ornament adat dan berbagai ukiran sejarah budaya (vernacular) yang
kesemuanya memiliki arti tersendiri sesuai dengan kondisi kehidupan Masyarakat
Adat Wajo. Ada gendang, patung manusia, patung kuda, tungku, dan berbagai motif
ukiran pada tiang kayu penyangga.
Kepala
Suku Besar Suku Embulau, Arnoldus Jogo menjelaskan setiap tahun, Kampung Adat
Wajo melaksanakan ritual adat Ngagha Mere sebagai ucapan syukur kepada Leluhur
dengan memberikan hasil kebun sebagai persembahan terbaik kepada para
Leluhurnya. Di dalam memberikan persembahan ini, Masyarakat Adat Wajo melakukannya
dengan tarian adat Pute Wutu dengan diiringi syair lagu Ndada Ta dan musik
tradisional Ndoto yang terbuat dari bambu.
Arnoldus
Jogo mengatakan, musik Ndoto, menurut kepercayaan Masyarakat Adat Wajo, sangat berperan
penting dalam melakukan komunikasi dengan Leluhur sehingga saat musik ini
dimainkan dalam upacara adat, para Leluhur akan mendengar dan mengetahui
kehadiran anak cucunya untuk memberikan persembahan mereka.
Dalam
pelaksanaan ritual adat ini, Masyarakat Adat Wajo menyiapkan uwi sebagai menu
utamanya yang juga akan dipersembahkan kepada Leluhur dalam ritual Bhei Uwi
yang persiapannya telah dilakukan selama setahun.(orlyn)
0 Komentar