Mikael Ane Divonis 1 Tahun 6 Bulan, Inilah Reaksi Masyarakat Adat Gendang Ngkiong

Masyarakat Adat Gendang Ngkiong saat menunggu hasil putusan sidang Mikael Ane (foto ronald)
RUTENG 3TUNGKU – Mendengar putusan Hakim Pengadilan Negeri Ruteng yang memvonis Mikael Ane, salah satu tokoh adat di Komunitas Adat Gendang Ngkiong dalam kurun waktu 1 tahun 6 bulan ditambah dengan denda Rp 300 juta subsidair 6 bulan kurungan, para Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat  dan Pemuda Adat Ngkiong memiliki reaksi yang sama yaitu tidak menerima putusan yang merugikan keberadaan Masyarakat Adat Gendang Ngkiong. Para tokoh ini merasa kecewa dengan putusan yang memvonis secara tidak adil terhadap Mikael Ane karena dapat mengancam eksitensi Masyarakat Adat Gendang Ngkiong yang sesungguhnya telah diakui keberadaannya oleh pemerintah sebagai salah satu Komunitas Masyarakat Adat yang ada di Kabupaten Manggarai Timur.

Tadeus Dosen, Tua Golo Gendang Ngkiong yang dihubungi melalui telepon selularnya usai mengikuti jalannya persidangan, mengaku prihatin dengan vonis yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Ruteng terhadap salah satu tua golo di Gendang Ngkiong ini.

Tadeus mengatakan, apabila seorang tokoh adat yang berjuang untuk mempertahankan keutuhan wilayah adatnya ditangkap lalu dipenjarakan maka akan berdampak pada protes sosial Masyarakat Adat yang turut merasakan ketidakadilan dari hukum positif yang berlaku di negara ini.  

“Sesungguhnya Mikael Ane berjuang untuk keutuhan wilayah adatnya, bukan merampok atau merampas hak milik oranglain sehingga dia harus dipenjarakan. Jangan jadikan Masyarakat Adat sebagai korban karena berjuang untuk keutuhan wilayah adatnya sendiri. Ini benar - benar tidak adil,” kata Tua Golo Tadeus.

Tadeus menegaskan pihaknya tidak akan berhenti berjuang untuk tetap mendukung Mikael Ane sebagai salah satu tokoh Masyarakat Adat yang berani melawan penguasa lalim yang hendak menguasai seluruh maupun sebagian wilayah adat Masyarakat Adat Gendang Ngkiong.

“Kami tetap memegang teguh pada kebenaran karena kebenaran itu adalah hakiki yang telah diwariskan oleh Leluhur kami. Olehnya, kami akan tetap berjuang bersama Mikael Ane karena menyangkut harkat dan martabat kami sebagai pemilik tanah ulayat di wilayah adat tersebut,” tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Fransiskus Nom, salah satu tokoh Masyarakat Adat di Gendang Ngkiong yang turut menyaksikan jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng.

Menurut Fransiskus Nom, putusan yang divoniskan terhadap Mikael Ane adalah putusan yang merugikan Masyarakat Adat Gendang Ngkiong karena putusan hakim ini tidak berdasarkan fakta lapangan yang ada dimana dalam kenyataan sesuai dengan sejarah Masyarakat Adat Gendang Ngkiong lokasi Lokpahar merupakan bagian dari wilayah adat Gendang Ngkiong. 

“Kami merasa sangat dirugikan dengan putusan ini. Masa, kita yang punya tanah, kita yang dipenjarakan. Masyarakat kecil selalu disalahkan. Dan ini benar – benar hukum itu tumpul ke atas rucing ke bawah ,” ungkap Fransiskus.

Fransiskus berharap kasus Mikael Ane ini tidak terulang lagi terhadap Masyarakat Adat lainnya yang wilayah adatnya masih diklaim Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng sebagai  bagian dari hutan lindung yang berada dibawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTT di Ruteng.

“Jika memang hutan itu berada di atas tanah ulayat milik Masyarakat Adat, sebaiknya dikembalikan saja kepada Masyarakat Adat untuk kembali mengelolahnya. Tidak ada gunanya juga pemerintah dalam hal ini TWA Ruteng mengklaim untuk tetap menguasainya,” tutur Frans.

Ketua Pemuda Adat Gendang Ngkiong, Ronald saat dikonfirmasi terkait  putusan Pengadilan Negeri Ruteng yang memvonis Mikael Ane dengan 1 tahun 6 bulan dengan denda Rp 300 juta menuturkan putusan pengadilan ini tidak mendasar karena berbeda dengan fakta lapangan yang menunjukkan bukti – bukti lengkap kepemilikan atas tanah Lokpahar.

“Bukti sejarah menunjukan kepemilikan atas tanah tersebut adalah wilayah adat Masyarakat Adat Gendang Ngkiong tapi kenapa harus diklaim sebagai tanah milik TWA Ruteng? Masyarakat Adat itu tahu betul akan wilayah adatnya sendiri sehingga mereka dapat mengolahnya seperti yang telah diwariskan oleh Leluhur mereka. Ini putusan yang benar – benar sangat merugikan Om Mikael Ane,” ucap Ronald.

Mengetahui hasil putusan yang merugikan ini, Ronald bertekad untuk kembali melakukan diskusi dengan Pemuda Adat Gendang Ngkiong untuk mendorong para pendamping hukum Mikael Ane supaya melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Ruteng yang merugikan Masyarakat Adat tersebut.

“Kami tetap pada prinsip kami bahwa, Mikael Ane tidak melakukan kesalahan dalam menduduki wilayah adatnya dengan membangun rumah atau bangunan lainnya. Sebagai Pemuda Adat Ngkiong, kami tetap mendorong langkah – langkah terbaik yang dilakukan oleh PPMAN sebagai Kuasa Hukum bapa Mikael untuk melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Ruteng,”  tuturnya.

Sementara itu salah satu Kuasa Hukum Mikael Ane, Marselinus Suliman S.H., dalam nota pembelaan terhadap terdakwah (baca : pledoi) menjelaskan, hakim dalam memutuskan perkara Mikael Ane masih menggunakan pasal – pasal yang telah dicabut namun dalam pandangannya pasal – pasal tersebut masih berlaku dan relevan sehingga argumentasi Penasehat Hukum dimentahkan.

 “Untuk menguji azas legalitas tersebut, kita mengujinya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu pengadilan tinggi,” kata Marselinus.

Marselinus menegaskan, perihal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5 tahun 2014 telah mengaturnya dimana seorang terdakwah lepas dari segala tuntutan apabila ia dikenakan pasal – pasal yang tidak berlaku.

“Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh pasal 112 UU Kerusakan Utan yang kemudian juga telah dicabut oleh Perpu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian demi hukum sewajarnya, bapak Mikael Ane dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” pungkasnya.*** (igento)

Posting Komentar

0 Komentar