Potongan
video percakapan antara Pak Maruar Sirait sebagai Menteri Perumahan dan Kawasan
Permukiman Republik Indonesia, bersama pejabat pusat dengan Ibu Pj. Bupati dan
Kepala Dinas Perumahan Kabupaten Flores Timur di sela – sela kegelisahan
masyarakat korban bencana letusan Gunung Lewotobi Laki – laki, kini menjadi
viral belakangan ini.
Beragam
respon masyarakat bermunculan di lini masa facebook, bahkan sempat diwartakan
pada media TV nasional, yang pada intinya menyoroti Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur
karena terkesan gagap dalam menjawab pertanyaan Menteri Maruar terkait usulan
lokasi untuk relokasi bagi masyarakat terdampak.
Sebuah
pertanyaan yang mematikan dari pak Menteri Sirait terkait lokasi relokasi bagi
para korban yang dijawab dengan segala ketidaksiapan dari Pemda Flores Timur adalah,
apakah Pemkab sudah melakukan survey?"
Dan ternyata jawaban sangat mengejutkan adalah belum.
Ini
yang membuat pak menteri "ngegas" terus karena pemkab belum melakukan
survey tetapi sudah mengajukan proposal untuk relokasi para korban.
Bagi
saya, yang dimaksud dengan survey itu tidak cukup hanya dilakukan untuk melihat
kepantasan lokasi, tetapi jauh lebih penting dari itu, adalah memastikan
kesiapan mental spiritualitas calon (masyarakat korban) yang akan dipindahkan
tempat tinggal mereka.
Karena
memindahkan masyarakat dari sebuah kampung (lewo tana) dengan tatanan nilai
sebagai ciri khas sebuah lewo yang telah dipelihara sejak dahulu kala, ke
lokasi baru milik orang lain secara tradisi, sama dengan menciptakan bencana
baru di sana, sebab masyarakat akan mengalami kesulitan pada berbagai aspek
kehidupan di tanah yang baru.
Bagi
kita orang Lamaholot yang sangat kuat memegang tradisi adat dan budaya tidak
bisa dipisahkan dari hidup dan kehidupan kita. Bahwa lewo tana itu pada mulanya
dibangun dengan koda. Koda yang mengandung kekuatan (ike kwaat) yang luar
biasa, lantas membentuk karakter masyarakatnya yang kemudian menjadi sebuah
budaya yang hidup dan berkembang pada lewo itu. Oleh karena itu, lewo tana adalah
kompleksitas kehidupan masyarakat pada sebuah komunitas.
Kompleksitas
kehidupan lewo tana menjangkau hingga pada keterlibatan manusia dalam menjaga
keutuhan hak ciptaan Tuhan, sehingga
terciptalah relasi cinta yang
menghidupkan antara sesama manusia, antara
manusia dengan alam dan antara manusia dengan Tuhannya melalui kearifan
lokal.
Oleh
karena itu, mengajukan proposal relokasi bagi para korban bencana letusan Gunung
Lewotobi Laki – laki, oleh Pemkab Flotim ke pemerintah pusat, semestinya dipertimbangkan secara holistik,
jika tidak demikian, maka merelokasi warga terdampak, sama seperti
menyelamatkan masyarakat pada satu sisi, tetapi sekaligus menciptakan bencana
sosial di kemudian hari bagi mereka.
Sudah saatnya kita berintropeksi diri mangakui kelalian kita dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. Kita mesti mengakui bahwa ada yang sudah ditinggalkan dalam merawat ibu bumi melalui kearifan lokal. Inilah cara kita satu – satunya sebagai wujud pertobatan untuk kemudian kembali ke lewo tana masing – masing, agar tidak perlu diadakan direlokasi.***
0 Komentar