Yustina Yusmiati dan P. Yosep Kusi, SVD (foto:istimewa) |
Dalam beberapa waktu ini laku viral diberbagai media tentang kesaksian P. Yosep Kusi, SVD yang 100 % membela PT. Krisrama dan menuduh masyarakat di sekitar Patiahu/Hitohalok telah melakukan kekerasan terhadap dirinya dan bertindak destruktif terhadap barang milik Missi SVD di Patiahu.
Viral
juga di berbagai media. Yustina Yusmiani, dengan lantang mereposisi
dirinya. Dari sebelumnya 2014 berjuang
bersama John Bala hingga memperoleh tanah yang ditempati sekarang ini. Kemudian
berbalik menyerang John Bala dengan tuduhan Provokator, menghasut mereka untuk
melawan Pemerintah dan Gereja demi memuaskan tuannya yang baru.
Pernyataan
P. Pater Yosep Kusi, SVD
Tentang
konflik HGU di Nanghale, P. Yosef Kusi, SVD mantan ekonom Seminari Tinggi
Ledalero selama 8 tahun menjelaskan beberapa hal yang penulis kutip dari
pernyataan yang viral diberbagai media, sebagai berikut:
Kami
(Missi Patiahu) mau masuk pungut kelapa di dalam wilayah itu, kami yang justru
diancam. Mereka dengan seenaknya menguasai kelapa – kelapa di wilayah tempat
tinggal mereka.
Bahkan
mereka (masyarakat) menggergaji pohon – pohon kelapa (67 pohon), pohon – pohon
jati besar (42 pohon), dan kayu – kayu itu mereka gunakan untuk membangun rumah
dan dibisniskan.
Ketika
saya melaporkan peristiwa ini ke polisi bahwa telah terjadi tindakan pencurian,
saya malah dicari dan mau dibunuh. Puluhan orang, perempuan dan laki – laki membawa
parang, busur dan anak panah, serta kayu mengepung rumah seminari di Patiahu. Semua kamar, kapela
bahkan sampai dapur diperiksa untuk mencari saya. Saya harus dibunuh.
Peristiwa
itu begitu mencekam, karyawan – karyawati lari menyelamatkan diri. Kami yang
bekerja di Patiahu dijaga oleh puluhan tentara dan polisi selama dua bulan karena
nyawa kami terancam.
Ini
pernyataan – pernyataan yang penulis kutip dari tulisan P. Yosep Kusi, SVD yang
merupakan salah satu korban serangan dari sekelompok orang yang mendiami tanah
HGU di lokasi Patiahu (Hitohalok) milik missi SVD.
Peran
Yustina Yusmiani di Patiahu
Untuk
mengungkap peran warga masyarakat di Hitohalok sebagaimana yang digambarkan oleh
P. Yosep Kusi, SVD, berikut petikan wawancara
dengan bapak Ricardus Eduardus Sareng MSc, seorang aktivis senior yang secara
intensif mendampingi masyarakat di Hitohalok.
Rangkuman
pernyataan beliau yang disampaikan melalui voice note WhatsApp-nya pada Rabu, 12
Februari dan pada Juma’t, 14 Pebruari 2025 yang dapat disimak sebagai berikut:
Tiba
– tiba satu siang Justina (Yustina Yusmiani) datang dan menceritakan kasus itu,
bahwa mereka menebang 30 pohon kelapa dan pohon jati. Justina mengatakan: "hal itu sengaja mereka lakukan, supaya
cepat selesai urusan tanah itu".
Setelah itu mereka diproses di
Kepolisian atas laporan dari pihak Patiahu. Jumlah mereka ada 31 orang.
Setelah
mereka dilaporkan dan berurusan dengan pihak Kepolisian, mereka pernah pergi
minta bantuan kepada Sius Nadus (Ketua PH AMAN Daerah Flores Bagian Timur saat
itu), tapi Sius Nadus malah mengata – ngatain mereka dengan mengatakan: kamu
pencuri, ngapain saya harus membantu kamu.
Sama
halnya juga ketika mereka pergi ke Tana Pu'an Leo, Tana Pu'an juga tidak mau bantu menanggapi kerena mereka melakukan semua itu atas kehendak sendiri.
Mereka
juga pernah ke John Bala, tapi John Bala bilang dia tidak mau urus. Kamu
lakukan sendiri tanpa kesepakatan bersama. Jadi biar sudah kamu urus sendiri.
Karena
ditolak oleh beberapa pihak tersebut, mereka merasa layaknya anak ayam
kehilangan induk, lalu mereka datang kepada saya, Edu Sareng.
Saya
mengakomodir mereka, mendampingi mereka dua atau tiga kali saat pemeriksaan di
Kantor Polisi, lalu pergi meminta maaf ke Bapak Uskup.
Bapak
Uskup memaafkan perbuatan mereka, tapi soal proses hukum yang sudah berjalan
Bapak Uskup tidak akan ikut campur.
Bapak
Edu Sareng juga sempat membuat surat kepada Bapak Uskup dan tembusnnya
diteruskan ke mana – mana kepada para pihak yang berkaitan langsung sampai di
Kardinal untuk minta pertolongan agar proses hukum ini dihentikan dan akhirnya
hingga saat ini proses hukum itu tidak dilanjutkan.
Justina
Berjanji Kepada Bapak Edu Sareng
Menurut
Bapak Edu Sareng, pada satu saat di tahun 2023 Justina datang ke rumahnya dan
berjanji untuk membatu biaya pengobatan matanya yang sudah cukup lama diserang
kebutaan.
Bapak
Edu lalu bertanya kamu dapat uang dari mana, Justina menjawab gampang. Pohon jati
di sana saya bisa potong 4 - 5 kubik untuk bantu bapak. (Maksudnya pohon jati
milik Missi SVD di Patiahu).
Bapak
Edu lalu bertanya kamu biasa potong kayu jati itu, Justina menjawab, kami biasa
potong satu atau dua kubik untuk bantu – bantu biaya segala macam. Justina juga
memberikan uang 300 ribu kepada mama Sri (istrinya bapak Edu) ketika itu.
Atas
tawaran Justina tersebut, awalnya bapak Edu setuju, namun setelah pikir
kembali, bapak Edu, mengkawatirkannya, jangan sampai ini jebakan, lalu
cepat-cepat menelpon Justina untuk membatalkan.
Menurut
bapak Edu, peristiwa ini terjadi ketika situasi di lapangan menghangat akibat
penebangan tanaman warga oleh Romo Alo Ndate pada tanggal 18 Desember 2023
lalu.
P.
Yosep Kusi, SVD Dihukum Warga
Selain
peristiwa yang disampaikan oleh bapak Edu Sareng, ada sebuah peristiwa menarik
lainnya yang juga terjadi di seputaran Hitohalok dimana para warga di
sekitarnya pernah menghukum P. Yosep Kusi, SVD. Dan untuk mengetahui peristiwa
yang satu ini, penulis mewawancarai bapak Hendrikus Hemu alias Rikus, salah
seorang Ketua RT 08/RW 03 di Wairhek, Desa Likonggete.
Menurut
bapak Rikus, dia pernah diundang oleh Justina dan kelompoknya untuk ikut
menyaksikan upacara penghukuman terhadap P. Yosep Kusi, SVD yang berlangsung di
Tana Rawa, Waiblama. P. Yosep Kusi, SVD dituduh melakukan pencemaran nama baik
salah satu anggota keluarga mereka dari Tanarawa, Waiblama.
P.
Yosep Kusi, SVD saat itu meminta bantuan tentara Riko, untuk menangkap dan
menyita satu karung kopra milik keluarganya Klemens di Hitohalok. Orang ini
ditangkap karena dituduh telah mencuri kelapa missi di Hitohalok lalu membuat
kopra tersebut.
Peristiwa
ini dilaporkan ke Polsek Waigete, namun Pater Yosep dan tentara Riko dihadapan
polisi tidak dapat membuktikannya. Setelah melakukan cross cek di lapangan
ternyata kopra tersebut benar milik orang yang ditangkap yang berasal dari
pohon kelapa miliknya di Desa Tanarawa, Waiblama. Akibatnya Pater Yosep dihukum
denda oleh orang yang ditangkap sebelumnya itu dan Justina dan kawan – kawannya
sebagai pengendali proses itu.
Menurut
bapak Rikus sebagai saksi mata, pembayaran denda itu dilakukan Kantor Desa
Tanarawa, Waiblama. Pater Yosep harus
membayar 1 ekor babi seharga Rp 5 juta, 2 ekor ayam, beras 50 kg, moke 5 liter,
uang Rp 2,5 juta, satu sarung dan satu baju.
Apa
kata John Bala
Terhadap
peristiwa – peristiwa ini, penulis juga mencoba mewawancarai John Bala, sebagai
Pendamping Hukum Masyarakat Adat tapi beliau menolak untuk berkomentar banyak,
namun setelah dimintai ulang beliau menyampaikan beberapa kalimat sebagai
berikut:
Saya
tahu semua peristiwa yang disampaikan P. Yosep Kusi, SVD. Karena kami sering
mengevaluasi dan berkeberatan dengan cara – cara seperti itu. Tapi sudahlah
siapa yang mau percaya dengan omongan saya saat ini?
Apalagi
korban dan pelaku sekarang sudah berada dalam satu kubu yang sama dimana kedua –
duanya mewakili PT. Krisrama untuk menyerang
kami.
Cara
terbaik dalam menghadapi situasi seperti ini adalah menghormati mereka. Karena
hanya dengan cara begitu mereka bisa meluapkan rasa marahnya sambil mengais
rejeki untuk bisa hidup berkelanjutan.***
Simon
Welan, activist Masyarakat Adat yang saat ini mendampingi Masyarakat Adat Suku
Soge Natarmage dan Suku Goban Runut
0 Komentar