Penebangan Tanaman Masyarakat Adat Di Nangahale Dikomandoi Langsung Kaum Klerus

Sebagian tanaman Masyarakat Adat di Wairhek yang ditebang oleh PT Krisrama (foto elhyn)

3TUNGKU, MAUMERE –
Penebangan tanaman milik Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan suku Goban Runut oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai karyawan PT. Kristus Raja Maumere yang biasa disebut sebagai PT. Krisrama, pada Senin (01/12/2025) menyisakan luka bagi kedua komunitas adat yang selama ini melakukan aktivitas pertanian di atas tanah eks HGU Nangahale tersebut.

Ratusan tanaman milik Masyarakat Adat yang selama ini telah memberikan kehidupan bagi Masyarakat Adat yang semuanya adalah para petani ditebang seenaknya oleh karyawan PT Krisrama dibawah komando para klerus yakni RD Yan Faroka, Pr selaku Direktur Pelaksana Harian PT. Krisrama dan RD Stef Lebuan, Pr selaku Pastor Paroki Watubaing, Talibura.

 Penebangan berbagai tanaman milik Masyarakat Adat ini telah berulang kali dilakukan PT Krisrama yang mengisaratkan bahwa pihak perusahaan tidak pernah menghargai tanaman yang sedang tumbuh dan tidak memiliki keberpihakannya terhadap Masyarakat Adat padahal didalam dokumen Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang dihasilkan oleh para uskup se-Indonesia, telah dengan jelas menghasilkan panggilan kenabian dan keterlibatan gereja dalam advokasi terhadap hak – hak Masyarakat Adat.

Menurut Maximilianus Herson Loi, Ketua AMAN wilayah Nusa Bunga, pembabatan tanaman milik Masyarakat Adat tersebut telah berdampak pada kerugian materiil dan kerugian psikis bagi Masyarakat Adat yang telah lama berada di wilayah itu.

“Pihak PT Krisrama yang merupakan korporasi milik Keuskupan Maumere semestinya membaca dan mentaati dokumen SAGKI ini agar tidak sewenang – wenang terhadap hak – hak Masyarakat Adat,” kata Maximilianus Herson.

Maximilianus mengatakan pada artikel 39 telah dengan jelas mengajak kita sebagai umat  untuk memahami kebenaran dan keadilan agar tidak terjebak dalam kepentingan – kepentingan bisnis atau korporasi maupun Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sering mengorbankan dan merugikan Masyarakat Adat. 

“Biasanya kedua kepentingan ini selalu didukung oleh hukum dan aparat dimana hukum diciptakan untuk memuluskan kepentingan itu dan aparat dipakai untuk meredam perlawanan masyarakat dalam mempertahankan wilayah adatnya,”lanjut Maximilianus.

Lebih lanjut Ketua AMAN Nusa Bunga ini menjelaskan kasus Nangahale ini telah menuai konflik yang berkepanjangan dan banyak Masyarakat Adat telah menjadi korban ketidakadilan dan kriminalisasi karena mempertahankan tanahnya. Mereka menjadi asing di tanah Leluhurnya sendiri dan dianggap pencuri didalam rumahnya sendiri. Dampak ketegangan sosial, kehilangan ruang hidup, ancaman kepunahan budaya, dan kemiskinan pasti akan terjadi ketika semuanya dikuasai oleh PT Krisrama.

Pihaknya berharap agar korporasi milik gereja ini berhenti melakukan perampasan terhadap tanah milik Masyarakat Adat dan berhenti melakukan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang tengah memperjuangkan hak hidup yang telah diwariskan Leluhurnya.

  Ricky Fernandez, salah satu tokoh muda Nangahale menuturkan pembabatan liar yang dilakukan oleh PT Krisrama terhadap tanaman milik Masyarakat Adat telah dilakukan berulang – ulang. Tindakan brutal yang dilakukan terhadap tanaman Masyarakat Adat itu semestinya tidak boleh dilakukan karena hingga saat ini belum ada keputusan final dari pengadilan untuk melakukan eksekusi terhadap tanaman masyarakat.

Ricky mengatakan, sekitar satu bulan yang lalu, pihak PT Krisrama juga telah berupaya  memaksakan kehendak untuk melakukan pembajakan tanah di Titik Pedan namun mereka dihadang oleh Masyarakat Adat sehingga tidak melanjutkan pembajakan tanah tersebut namun kali ini mereka datang lagi melakukan pembabatan tanaman milik Masyarakat Adat di Titik Wairhek.

“Mereka ini bertindak seenaknya saja padahal belum ada keputusan final dari pihak pengadilan untuk melakukan eksekusi atas tanah yang diklaim memiliki sertifikat tersebut,” kata Ricky.

Lebih lanjut tutur Ricky, umlah tanaman Masyarakat Adat yang ditebang pada pembabatan ini adalah 110 pohon mente, 115 rumpun pisang, 11 pohon mangga, 54 pohon ubi kayu/singkong, 4 phon sengon, 1 rumpun bambu kuning dengan korban yang terkena dampak penebangan ini sebanyak 20 KK.

Aksi Lempar Batu

PT Krisrama melakukan penebangan tanaman Masyarakat Adat dengan alasan pembersihan lahan sehingga membabat semua tanaman milik Masyarakat Adat yang berada di dalam tanah eks HGU tersebut.

Masyarakat Adat yang menghadang tindakan PT Krisrama memberikan peringatan kepada karyawan yang melakukan penebangan agar tidak melanjutkan pembabatan tersebut namun permintaan itu tidak digubris oleh pihak PT Krisrama sehingga terjadi aksi saling lempar batu.

“Kami kesal dengan tindakan mereka yang brutal dan tidak menghargai tanaman yang kami tanam, kami rawat setengah mati, dan kami jaga selama ini. Seenaknya saja mereka datang tebang,” ujar salah seorang Masyarakat Adat yang tidak mau disebutkan namanya ini.

Menurutnya, meskipun pihak PT Krisrama datang melakukan penggusuran, penebangan bahkan memenjarakan mereka, dirinya bersama Masyarakat Adat di kedua komunitas adat itu tidak akan pernah berhenti berjuang, takkan pernah mundur selangkah pun melawan penguasa lalim yang berusaha merebut hak hidup mereka.

 “Kami tidak akan mundur selangkah pun dari tanah Leluhur kami ini. Hidup mati kami, tetap berada di atas tanah adat, warisan Leluhur kami,” pungkasnya.***(Elhyn Goban).   

Posting Komentar

0 Komentar