Masyarakat Adat menolak tanah ulayatnya untuk diukur oleh BWS dan tim survey (foto igento)
MAUMERE 3TUNGKU – Koalisi aktivis Non-Governmental Organization (NGO) Maumere –
Flores mengutuk keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan kekerasan
terhadap mama – mama Perempuan Adat Rendu, Ndora dan Lambo yang melakukan
perlawanan terhadap Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II dan tim survey
yang hendak mengambil hak – hak dasar mereka sebagai pemilik tanah ulayat di
lokasi yang akan dibangun waduk Lambo.
Para aktivis yang tergabung dalam
Koalisi Aktivis NGO Maumere – Flores ini terdiri para aktivis HAM, aktivis lingkungan, aktivis
Masyarakat Adat dan praktisi hukum yang menetap di Maumere. Mereka adalah : Anton
Yohanis Bala (Ba’Pikir) selaku Koordinator, Pieter Embu Gusi (PBH – Nusra),
Karolus Wim Keupung (WTM), Silverius Angi (Petasan), Yuvensius Wangge (FPBD –
Sikka), Fransikus Anggelinus (YP2R), Yohanis Yos Depeskim ( Aktivis), Yulius
Regang ( Aktivis), Albertus Sani Sogen ( Aktivis), Arkadius Amantus ( Aktivis),
Marianus Mayolis ( Aktivis), Marsel Jagong (aktivis).
Melalui press rilis yang
dikirim ke 3tungku.com hari ini, Minggu (17/10/2021), para aktivis Koalisi NGO Maumere
ini mengatakan situasi terakhir yang terjadi di Rendu, Ndora dan Lambo sangat
memprihatinkan karena aparat kepolisian yang bertugas di lokasi kerap melakukan
tindakan represi terhadap Masyarakat Adat yang tengah berjuang mempertahankan
wilayah adatnya.
Koalisi NGO Maumere dalam rilis
persnya mengatakan kekerasan polisi terhadap warga negara yang tidak bersalah
dalam kesempatan, bentuk dan dengan alasan apapun adalah tindakan kejahatan
terhadap masyarakat sipil apalagi kekerasan itu dilakukan dengan maksud untuk
melindungi satu pihak dan membatasi pihak lain sehingga tidak dapat menggunakan
hak – haknya sebagai warga negara.
Hal ini disampaikan Antonius
Yohanis Bala, SH, Ketua Yayasan Ba’Pikir dan selaku Koordinator Koalisi NGO
Maumere - Flores hari ini Minggu (17/10/2021).
“Kami dari Koalisi Aktivis NGO
Maumere mengutuk keras tindakan represi yang dilakukan Polres Nagekeo dan
Satuan Brimob Polda NTT yang sejak September – Oktober 2021 terhadap mama –
mama Perempuan Adat Rendu, Ndora dan Lambo di lokasi yang direncanakan untuk
membanguna waduk Lambo,” kata Antonius Yohanis Bala.
Antonius Yohanis Bala melanjutkan keterlibatan Polisi dan Pol PP dalam upaya menghalang-halangi perjuangan masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora dalam menolak pembangunan Waduk Lambo di Lowo Se, di Kecamatan Asesa Selatan, Kabupaten Negekeo sudah berlangsung sejak tahun 2015 hingga saat ini. Kekerasan fisik, intimidasi hingga kriminalisasi telah menjadi pola standar untuk membrangus hak – hak Masyarakat Adat dalam menyampaikan pendapat dan mempertahankan tanah adatnya.
Ditambahkannya selama bulan September hingga Oktober 2021 ini, polisi dari Polres Nagekeo dan Satuan Brimob Polda NTT bersenjata lengkap kembali tampak hadir di lapangan untuk mengkawal kegiatan Survey dan Pengukuran Lokasi Waduk oleh petugas BWS Nusa Tenggara II.
“Kami melihat gambar dan
menonton video yang viral di media sosial serta pemberitaan di media on line,
Polisi dan satuan Brimob dengan sangat arogan melakukan represi fisik dan
intimidasi kepada mama – mama dari Masyarakat Adat yang sedang mengekspresikan
pendapatnya di lapangan,” lanjut Yohanes.
Antonius Yohanis Bala yang akrab disapa John Bala ini menuturkan, Polisi dan Pol – PP secara institusi terkesan buta dan menolak untuk memahami eksistensi hak – hak Masyarakat Adat atas pembangunan. Dengan dalil mengamankan Proyek Strategis Nasional (PSN), mereka telah meletakan keperpihakannya bukan pada semua pihak tapi pada Pemrakarsa Proyek yaitu BWS Nusa Tenggara II saja.
Pihaknya juga mengutip pernyataan Kapolda NTT melalui Kabidhumas Polda NTT Kombes Pol. Rishian Krisna B, S.H., S.I.K., M.Hum, LIPUTAN 6: Jumat (24/9/2021) sore, bahwa: “kehadiran Polri di lokasi pembangunan adalah dalam rangka pengamanan dan menjamin proyek strategi nasional berjalan dengan baik, aman dan sesuai target penyelesaian yang telah direncanakan, sehingga dapat segera diberdayakan dan memberikan manfaat bagi masyarakat NTT”.
Aktivis HAM yang sering
mendampingi korban kekerasan ini menuturkan, posisi kehadiran polisi di
lapangan hanya mengacu pada out put kebijakan pemrakarsa proyek (BWS NT II).
Polisi tidak peduli dan menganggap bukan urusannya dengan buruknya proses
perencanaan Waduk Lambo itu sebelumnya yang tidak adil dan telah mengabaikan
hak – hak Masyarakat Adat. Kehadiran Polisi di sini persis hanya sebagai alat
pertahanan dan perlindungan bagi BWS NT II
atas tindakan sewenang – wenang dan ketidakadilan tersebut di hadapan Masyarakat
Adat.
Ketua Yayasan Ba’Pikir ini menjelaskan, sejatinya berdasarkan pasal 2 jo pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
“Polisi juga bertanggungjawab atas penyelanggaraan perlindungan, pemenuhan, penghormatan dan promosi hak asasi manusia berdasarkan Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” jelas John Bala.
Menurut Koalisi NGO Maumere, Kepolisian sebagai penanggungjawab operasional keamanan di lapangan, khususnya berkaitan dengan pembangunan Waduk Lambo harus memahami :
Pertama, latarbelakang persoalan dan
eksistensi Masyarakat Adat setempat. Mereka, tidak menolak pembangunan waduk.
Mereka menolak lokasi pembangunan waduk Lambo di Lowo Se dan mengajukan lokasi
alternatif di Malawaka dan Lewo Pebhu. Usulan ini sudah diajukan sejak tahun
2001 dan hingga saat ini belum mendapat tanggapan dari Pemerintah Daerah Ngada,
Nagekeo, NTT dan Indonesia. Kedua, alasan
aksi yang dilakukan, karena tidak terakomodirnya saran dan pendapat mereka
selama ini, bahkan tidak pernah pula tersedia forum dialog yang kondusif antara
Pemerintah (pihak pemrakarsa proyek) dengan masyarakat untuk membahas hal ini,
maka pencegahan di lapangan yang selama ini terjadi oleh emak-emak atas
kegiatan Survey dan Pengukuaran oleh BWS NT II selama Agustus – Oktober 2021
adalah bentuk pernyataan sikap dan
penyampaian pendapat yang dilindungi UU. Dan ketiga, dasar – dasar perlawanan mereka ini bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum kerena beberapa alasan lain seperti: ada
indikasi terjadi mafia tanah dalam proses pendataan pengadaan tanah, karena
beberapa pihak kunci dan asli warga setempat justru tidak terakomodir. Ada
indikasi pemaksaan kehendak oleh pihak BWS Nusa Tenggara II yang bertentangan
dengan rekomondasi Amdalnya. Dan juga
rujukan pernyataan dari Menteri PUPR – RI ketika bertemu dengan wakil
Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora di Jakarta tanggal 4 Agustus 2017 bahwa:
Kalaupun masih ada satu orang yang tidak setuju dengan pembangunan waduk di
lokasi tersebut, maka pembangunan itu tidak bisa diteruskan.
Dari dasar uraian ini, pihak Koalisi NGO Maumere menilai polisi selama berada di lapangan dari September hingga Oktober 2021 telah bertindak diskriminasi, represi (fisik dan mental) terhadap Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora yang bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku serta tidak menerapkan prinsip – prinsip perlindungan, pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia bagi setiap warga negara.
Oleh karena itu, Koalisi NGO Maumere dengan tegas meminta:
Pertama, kepada Kementrian PUPR cg.
Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II
(BWS – NT II) untuk : a) Menghentikan atau membatalkan penggunaan aparat
Kepolisian di lapangan. Karena Kepolisian Republik Indonesia adalah Lembaga
Pemerintahan yang tidak bisa/tidak boleh dimanfaatkan layaknya preman bayaran
untuk melindungi tindakan sewenang – wenang BWS NT II sebagai Pemrakasa Proyek
Waduk Lambo. b) Menghentikan sementara kegiatan pembangunan Waduk Lambo sampai
dengan dilaksanakan perundingan ulang mengenai lokasi pembangunan antara pihak
Pemrakarsa PUPR (BWS NT II) dengan Masyarakat Adat dari Suku Rendu, Lambo dan
Ndora. Dan kedua, kepada Kapolda NTT
dan Kapolres Nagekeo agar menarik semua personil dari lapangan agar tidak
terjadi benturan dengan warga Masyarakat Adat yang kami duga akan terus
melakuan perlawanan terhadap BWS Nusa Tenggara II dengan alasan tersebut di
atas.
“Kami akan terus melakukan pemantauan dan aktif memberikan penilaian terhadap seluruh proses yang terjadi di lapangan berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan proyek waduk Lambo,” pungkas John Bala.***(igento)
0 Komentar