Oleh Pater Yohanes Kopong Tuan MSF
Untuk Yang Saya
Kasihi:
Bapak Presiden Republik Indonesia: Bapak Ir. Joko Widodo
Bapak Kapolri
Republik Indonesia: Bapak Jenderal Listyo Sigit Prabowo
Bapak Gubernur NTT: Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat
Bapak
Bupati Nagakeo: Bapak Johanes Don Bosco Do
Salam
damai sejahterah…
Mengawali surat terbuka saya ini,
ijinkan saya untuk memperkenalkan diri saya. Saya adalah Pastor Yohanes Kopong
Tuan MSF, biasa dipanggil Pater Kopong MSF atau dalam akun facebook saya: Tuan
Kopong MSF, sekarang menjadi misionaris di Filipina, tepatnya di Keuskupan
Novaliches-Metro Manila.
Saya adalah imam Katolik Roma yang berasal dari Desa
Keluwain-Kecamatan Kelubagolit-Adonara-Flores Timur-NTT. Saya hanyalah seorang
pelayan keadilan dan kebenaran dan sekaligus pelayan keutuhan ciptaan dan
masyarakat adat. Sejak 2008-2015, hati saya ikut menangis, terluka dan tersakiti
menyaksikan tangisan para ibu dan orang tua masyarakat adat di wilayah
Kalimantan Timur, tepatnya di Samarinda yang harus kehilangan tanah dan lahan
pertanian mereka oleh kekejaman penguasa yang “diperkuat”oleh aparat keamanan
dalam hal ini pihak kepolisian.
Cara-cara dialog yang tidak mengedepan budaya
maupun kearifan lokal masyarakat setempat selalu menuai korban di pihak
masyarakat adat. Cara-cara dialog dengan kekerasan dan pembongkaran secara
paksa pondok maupun pagar oleh pihak keamana (kepolisian) tanpa mempedulikan
suara masyarakat adat selalu berujung ricuh dan kekerasan. Agar kita semua
ketahui bahwa masyarakat mempertahankan tanah mereka yang akhirnya terprovokasi
oleh oknum aparat kepolisian hingga berujung pada perlawanan karena mereka tahu
dan sadar bahwa tanah tempat dimana mereka tinggal dan olah untuk kehidupan
mereka adalah tanah mereka.
Masyarakat
adat juga tidak bodoh dan rakus mempertahankan tanah yang bukan milik mereka.
Mereka mempertahankan tanah mereka karena secara turun temurun mereka tahu
bahwa itu adalah tanah mereka. Sebelum adanya badan pertanahan di Republik ini,
masyarakat adat sudah memiliki badan pertanahan ulayat sendiri yaitu Tuan Tanah
atau Kepala Adat. Tuan Tanah maupun kepala adat yang memiliki kewenangan untuk
membagi tanah itu secara adil kepada masyarakatnya untuk diolah demi
keberlangsungan hidup mereka.
Masyarakat
adat seluruh NTT memiliki sistem kepemilikan tanah dengan sistem Tuan Tanah
secara turun temurun dan juga kepemilikan oleh beberapa suku yang merupakan
gabungan dari beberapa tuan tanah. Jika kemudian ada keluarga atau sanak
saudara dari Tuan Tanah itu menjual atau memberikan tanah secara diam-diam
kepada pemerintah maupun pengusaha tanpa sepengetahuan keluarga maupun Tuan
Tanah yang lain maka tidak berarti bahwa pemerintah ataupun penguasa tersebut
sudah memiliki tanah tersebut namun harus dan wajib terlebih dahulu mencek
kebenaran status kepemilikan tanah tersebut pada keluarga Tuan tanah ataupun
tuan tanah dari suku lain yang tergabung dalam kepemilikan tanah ulayat.
Persoalan tanah di seluruh wilayah
NTT adalah persoalan nyawa. Ini yang harus dipahami. Karena tanah terjadi
pembunuhan antar keluarga, suku dan kampung. Tanah bagi orang NTT adalah
martabat hidup orang NTT, karena tanah adalah ibu, sebagaimana seorang ibu yang
melahirkan kehidupan demikian juga tanah melahirkan dan memberikan kehidupan.
Maka kematian atas nama memperjuangkan tanah dianggap sebagai “pahlawan.”
Kasus di Sumba yang baru terjadi beberapa hari
ini seharusnya menjadi catatan penting buat pemangku kebijakan untuk mengurusi
dan memanfaatkan tanah masyarakat adat NTT secara arif dan bijaksana. Satu
orang yang mengklaim dan memberikan tanah kepada pemerintah bukan berarti tanah
itu sudah menjadi milik pemerintah, namun harus dicek dan ditanya soal
kepemilikan tanah itu. Jika tanah itu milik tuan tanah secara per-orangan maka
harus ditanya juga kepada pihak keluarga maupun anak tuan tanah yang lain. Jika
itu merupakan milik dari beberapa suku, maka wajib hukumnya untuk menanyakan
kepada tuan tanah suku lain. Hal ini yang seringkali menjadi pemicu terjadinya
konflik antara pemerintah dan masyarakat ketika berurusan dengan pembangunan
dan tanah masyarakat adat.
Bukan
semata soal administrasi dan sertifikat. Karena kalau mau jujur, kebanyakan
tanah di NTT kemungkin besar tidak memiliki sertifikat karena sistem
kepemilikan didasarkan pada sistem tuan tanah secara pribadi ataupun suku
dimana ada beberapa tuan tanah yang memiliki tanah tersebut. Dan itu diakui
oleh masyarakat adat setempat.
Sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Kasus
tanah di Sumba belum selesai, sekarang muncul masalah baru di Kabupaten Nagakeo
tepatnya di wilayah Rendo, Lambo dan Dora. Lagi-lagi masalah tanah dan
pembangunan. Masyarakat NTT sangat mendukung kinerja bapak Presiden Republik
Indonesia: Bapak Jokowi. Masyarakat NTT sangat mencintai Beliau, karena kami
juga harus mengakui perhatian dan cinta Beliau bagi masyarakat NTT. Untuk
pembangunan dan demi kebaikan bersama, masyarakat NTT dalam hal ini para Tuan tanah
maupun kepala-kepala suku dengan senang hati memberikan tanah mereka untuk
pembangunan. Namun kebaikan masyarakat adat NTT juga harus dihargai. Suara
perlawanan mereka wajib untuk didengarkan. JANGAN HANYA MENGHARGAI MASYARAKAT
NTT pada saat kampanye pilpres maupun pilkada yang membual sekian janji manis,
namun setelah mendapatkan kekuasaan mereka juga yang menjadi korban dari
kesombongan pemerintah.
Saya
dan semua masyarakat NTT sangat mendukung pembangunan di NTT. Namun pembangunan
yang mengatasnamakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia JANGAN SAMPAI merusak tatanan kearifan lokal dan melukai serta
menyakiti masyarakat NTT. Saya yang bukan orang Nagakeok merasakan kesedihan,
terluka dan tersakiti oleh perilaku oknum kepolisian, Satpol PP dan Brimob yang
dengan “kasar” menghadapi perjuangan mama-mama dan masyarakat. Keberhasilan
sebuah pembangunan bukan semata pembangunan itu mampu dikerjakan dan
diselesaikan namun diatas semuanya itu adalah adanya dialog, mendengarkan suara
masyarakat yang diyakini sebagai suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) dan
memberikan rasa aman bagi masyarakat seutuhnya.
Dengarkan Suara Masyarakat Adat
Dengan Nurani Bukan Kekuasaan
Membaca dan menonton video dimana
masyarakat dari kecamatan Rendo, Lambo dan Dora yang mempertahankan hak mereka
atas tanah berhadapan dengan perlakukan aparat keamanan yang dibantu satpol PP
yang tidak mengedepankan nurani kemanusiaan adalah sebuah pertunjukan yang
memprihatinkan, menyedihkan dan mengecewakan.
Polisi yang selama ini dikenal
sebagai pengayom masyarakat terutama masyarakat kecil seakan kehilangan nurani
kemanusiaan dengan perlakukan mereka dihadapan mama-mama yang menangis dan
berteriak histeris. Masyarakat yang mempertahankan tanah mereka bukannya tidak
mau dan tidak mendukung pembangunan bendungan. Mereka mendukung namun mereka
meminta agar tempatnya dipindah yaitu di Malawaka. Karena tanah yang sedang
mereka olah sudah ada bangunan pemukiman, kubur, kebun dan menjadi tempat
dilaksanakan serimonial adat.
Mereka
memiliki alasan kuat untuk mempertahankan tanah adat mereka. Bahkan di dalam
Perda Tata Ruang Wilayah No.1, tahun 2011 tanah yang sedang dipertahankan oleh
masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora tidak termasuk dalam rencana pembangunan
bendungan. Lantas mengapa pemerintah Kabupaten Nagakeo dalam hal ini pak Bupati
masih bersikukuh dengan kekuasaannya untuk mendirikan bendungan di tanah yang
menjadi ungkapan kearifan lokal masyarakat Rendu, Lambo dan Ndora dimana tanah
itu menjadi tempat pelaksanaan serimonial adat?
Atas peristiwa menyedihkan dimana
arogansi kekuasaan lebih dipertontonkan daripada kearifan lokal sebagai manusia
beradab dan beradat atas persoalan pembangunan bendungan di Kabupaten Nagakeo,
maka saya meminta agar:
1. 1. Bapak Presiden Jokowi mendengarkan suara masyarakat kecil. Bapak
Presiden selalu menegaskan bahwa pembangunan tidak menghilangkan kearifan lokal
masyarakat adat, maka kedepankan nurani dan bukan kekuasaan dalam pembangunan
bendungan di Kabupaten Nagakeo. Rencana baik bapak menjadi sebuah kegagalan
ketika nurani pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Nagakeo menjadi tumpul dan
gelap mata.
2.
Meminta Bapak Kapolri: Bapak
Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menegur aparat kepolisian dan menindak
tegas oknum anggota bapak di wilayah Kabupaten Nagakeo yang mengedepan
perlakuan kasar daripada etika dan sopan santun saat berhadapan dengan
masyarakat kecil yang memperjuangan hak hidup mereka atas tanah. Bapak juga
sellau menegaskan bahwa dalam berhadapan dengan persoalan, langkah persuasif
yang harus dikedepankan.
- Bapak
Gubernur NTT untuk lebih banyak mendengarkan suara masyarakat adat. Bapak
sebagai orang NTT tentu sangat memahami psikologi budaya dan adat
masyarakat NTT dan segera mengevaluasi kembali rencana pembangunan
bendungan di Kabupaten Nagakeo.
- Bapak
Bupati Nagakeo adalah orang asli Nagakeo. Maka tentu bapak lebih tahu
mentalitas dan kehidupan masyarakat Nagakeo. Kedepankan budaya dialog
dalam keterbukaan, ketulusan dengan menempatkan kearifan lokal masyarakat
Nagakeo sebagai jalan untuk memanusiakan manusia dan bukan dengan
kekuasaan. Jangan memanfaatkan masyarakat Nagakeo dengan janji-janji manis
nan palsu saat kampanye, namun setelah kekuasaan diraih, penindasan dan
keangkuhan kekuasaan yang bapak tunjukan.
- Bapak,
mama serta saudara-saudari dari Lambo, Rendo dan Dora untuk tetap bersatu
hati memperjuangkan dan mempertahankan hak kalian atas tanah yang selama
ini memberikan kesejahteraan bagi anak cucu kalian. Jangan terpecah belah
hanya karena iming-iming uang. Karena disaat kalian terpecah belah,
kekalahan sudah didepan mata. Dalam setiap perjuangan, bangkitkanlah
simbol-simbol adat dan serimonial kearifan lokal sebagai kekuatan dalam
memperjuangkan dan mempertahankan hak hidup kalian atas tanah.
6.
Gereja Lokal Keuskupan Agung Ende
sejatinya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan suara kenabian dalam bentuk
solidaritas dan perjuangan bersama masyarakat dan umat Allah di wilayah
Keuskupan Agung Ende. Merawat dan mempertahankan Keutuhan Ciptaan, salah satu
bentuknya adalah dengan membangun semangat solidaritas perjuangan bersama
masyarakat adat untuk keadilan dan kebenaran. Solidaritas bersama masyarakat
Rendo, Lambo dan Dora adalah misi merawat ibu bumi dan itulah pelaksanaan
konkrit dari Lau Dato Si.
Demikian ungkapan isi hati saya melalui surat terbuka saya ini
sebagai bentuk solidaritas dan keberpihakan saya bersama bapak, mama dan
saudara-saudariku masyarakat Rendo, Lambo dan Dora di Kabupaten Nagakeo. Saya
terpanggil untuk menyuarakan tragedi kemanusiaan ini semata-mata karena iman
saya akan Yesus Kristus yang adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6).
Hanya orang beriman yang bisa melahirkan manusia yang berbudaya
dan beradat untuk memanusiakan manusia dan bukan menjadi serigala bagi sesama
terutama masyarakat adat! Pembangunan yang hanya melahirkan luka, tangis dan
air mata masyarakat adat sebagaimana yang hari-hari ini dialami oleh masyarakat
adat Rendu, Lambo dan Ndora di Kabupaten Nagakeo bukanlah pembangunan yang
menyejahterakan manusia namun pertunjukan kekuasaan dan arogansi yang menindas
manusia. Salam dan doaku***
Manila: 11 Desember
2021
0 Komentar